Di dunia marketing, ada satu teori dari efek diderot yang kerapkali prakteknya selalu digunakan oleh marketer untuk meningkatkan jumlah pembelian (consumption) dari produk yang sama atau saling berkaitan. Sebelum kita masuk ke dalam contoh implementasi efek diderot di kehidupan sehari-hari, kita bahas dulu yuk asal usulnya “Efek Diderot” ini.
Nama efek diderot ini diambil dari seorang filsuf dan penulis bernama Dennis Diderot asal Perancis (1713-1784), dia adalah seorang kontributor dari Encyclopédie (Ensikolpedia yang paling lengkap pada jaman itu). Semasa hidupnya, Diderot hidup dalam kemiskinan dan jarang mendapatkan pengakuan dari karyanya, hingga pada suatu hari di tahun 1766 (usia 53 tahun) keberuntungan datang padanya, dan hidupnya berubah secara signifikan ketika seorang Permaisuri Rusia, Yekaterina Yang Agung (Empress Catherine The Great) mengangkatnya menjadi pustakawan kerajaan, dengan upah 1.000 Franc per tahun yang dibayar semuanya di awal untuk 50 tahun (50.000 Franc, setara dengan 750jt dengan mata uang Rupiah).
Setelah mendapatkan kekayaan secara tiba-tiba, Diderot membeli jubah berwarna merah tua yang elegan. Dari sinilah semuanya bermula, Diderot mulai merasa apa yang dimiliki di dalam rumahnya tidak sepadan dengan jubah elegan yang dia miliki saat ini, kursi kayu tua diganti dengan kursi kulit dari Maroko, meja kerjanya diganti dengan meja kerja yang mewah, karpet tuanya diganti dari karpet baru dari Damaskus, hingga akhirnya dia terjebak untuk harus berhutang. Inilah yang disebut Efek Diderot.
Secara sederhana didefinisikan sebagai suatu kondisi atau perilaku yang membuat orang terus membeli barang baru demi melengkapi atau menyempurnakan barang yang sudah dimilikinya. Ada 2 hal pendasaran dari efek ini :
- Pertama, untuk membuat semuanya align (sejalan/ sesuai) dengan identitas yang kita bentuk,
- Kedua, barang baru yang kita miliki merupakan “barang awal” untuk memperkenalkan kita pada barang-barang pelengkap lainnya.
Mungkin dari membaca definisinya di atas sudah mulai terbayang ya hal itu sering sekali kita lakukan, contoh yang pertama adalah untuk menyesuaikan dengan identitas yang kita bentuk, kita adalah seorang yang suka dengan suasana kumpul-kumpul, biasanya perabot di ruang tamu diatur sedemikian rupa supaya tamu nyaman untuk datang berkunjung ke rumah, dimulai dengan membeli sofa, lalu kita mencari perabot lainnya di ruang yang sama supaya senada, mulai dari rak televisi, meja ruang tamu, karpet, lemari pajangan, dan lainnya. Tujuannya adalah semua senada seperti konsep ruang tamu yang kita mau.
Contoh yang kedua mungkin lebih berasa di kehidupan kita, saat “demam sepeda” seperti di masa pandemi ini contohnya, benda pertama yang dibeli adalah sepeda, lalu muncul ke yang lainnya helm sepeda, lampu/ klakson sepeda, masker, outfit yang pas untuk bersepeda. Waktu dulu McDonalds mengeluarkan seri mainan Minion dari paket HappyMeal, percayalah saya salah satu orang yang rela antri, berburu paket happy meal (yang jelas-jelas porsinnya geli-geli untuk badan saya yang besar) hanya untuk mendapatkan mainannya, sudah lengkap seri minionnya diposting di social media merasa ini sebagai sebuah pencapaian (tentunya pencapaian ala-ala), terus masuk lemari pajangan……dan sudah itu saja, semua uang dan effort yang dilakukan akhirnya berakhir di lemari pajangan.
Mungkin semakin kita menyadari dari efek diderot ini, banyak sekali hal-hal yang kita beli di luar kebutuhan kita yang bahkan tidak membuat kita bahagia atau terpuaskan, kita masuk ke dalam loop untuk terus mencari lebih dan lebih banyak lagi. Membuat kita membeli sebuah barang lebih yang impulsif dibandingkan berdasarkan perencanaan atau kebutuhan. Membuat kita jadi melakukan keputusan secara autopilot.
Prakteknya di dunia marketing sebenarnya cukup beragam :
- Collectibles – membuat sebuah yang bisa dikoleksi serinya, persis seperti Seri Mainan Minion dari Happy Meal McDonald tadi. Masih ingat mainan Tazos dari Chiki Balls di tahun 90an? Atau Kartu Boboiboy di dalam Choki-Choki?
- Complementary – Item yang saling melengkapi, biasanya ada di benda dengan fungsi tertentu yang digunakan dalam 1 momen, contoh action camera (seperti Go Pro), pasti akan menjual untuk hard case cover, grip untuk ditempekan di media mana saja, dan tongsis (monopod) untuk mendapatkan angle dari jarak yang agak jauh, belum lagi kalau kita suka melakukan pengambilan gambar di dalam air, ada case untuk kedap airnya, dan ada grip yang bisa ditempel di goggle (kacamata renang).
- Status – Secara garis besar mungkin mirip dengan complementary, tapi ini lebih menitikberatkan pada status yang dimaksud bisa dari pekerjaan, bisa juga dari sisi emosi yang dimainkan. Untuk Gamer sejati, ada merk yang paling sering digunakan oleh hardcore user game, Razer yang punya product range yang lengkap mulai dari mouse, mouse pad, headphone, bahkan kini dia sampai punya versi gaming laptop dan mobile phonenya.
Buat saya, kita pasti akan dihadapkan seperti hal ini di kehidupan sehari-hari, pilihan ada di tangan kita. Kita yang menjadi tuan untuk mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang kita mau, bukan menjadi budak dari benda yang kita beli. Di masa kekelamannya Diderot pada saat itu membuat esay dengan judul “Penyesalan Membuang Jubah Lamanya”, di dalam tulisannya dia mengatakan, “Aku adalah tuan dari jubah lamaku, tapi aku kini menjadi budak dari yang baru…………..berhati-hatilah dari pengaruh kaya secara tiba-tiba. Mereka yang miskin tidak akan mempedulikan penampilannya, namun untuk mereka yang kaya selalu dibawah tekanan.”
Pesan moral dari efek diderot ini cukup dalam buat saya, dimana kendali itu sebenarnya ada di kita, kita diberikan kekuatan untuk memilah mana yang dibutuhkan mana yang tidak, bukan hanya itu, dari sini kita juga belajar untuk mensyukuri dan menghargai apa yang kita miliki saat ini. Happy reading! semoga menginspirasi 🙂